Tidak Semua Budaya Madura Itu "Berbudaya"


Judul postingan ini memang agak terasa aneh, bahkan mungkin bisa menimbulkan tanggapan negatif atau reaksi yang berlebihan jika tidak memahami maksud dari judul tersebut secara tuntas. Tapi agar tidak menimbulkan beberapa persepsi negatif, tidak ada salahnya kita simak pengalaman berikut ini.

Saya adalah orang madura asli, dan menikah dengan orang Madura asli juga, dua hari setelah acara akad nikah dan resepsi penikahanku (aremoh) di pertengahan Pebruari 2002, istriku mengajak untuk membuka kotak 'sakti' tempat penampungan amplop bernama dan tentu saja isinya merupakan "ungkapan turut berbahagia" atas Rahmat Allah SWT yang telah dilimpahkan kepada kami (paling tidak saya berusaha mengungkapkannya seperti itu), tapi yang aneh istriku telah siap dengan buku dan ballpoint. Katanya untuk mencatat daftar "ungkapan turut berbahagia plus kadarnya berapa", dengan tujuan jika suatu saat orang yang pernah memberikan "ungkapan turut berbahagia" akan kita balas sesuai "kadar" yang mereka berikan.

Jika saya "bahasa" kan amplop itu sebagai "ungkapan turut berbahagia plus kadarnya" pasti pembaca sudah merasakan ada suatu yang salah dengan itu. Adalah tidak benar jika kita membalas budi seseorang dengan mengukur budi yang pernah orang itu berikan kepada kita, lalu apa arti dari ikhlas membantu, menolong atau membahagiakan orang lain tanpa pamrih? Apakah ajaran yang ditanamkan oleh keyakinan yang kita anut (saya yakin semua agama juga mengajarkan hal ini) tidak ada artinya? Apakah karena ini suatu budaya maka keyakinan harus dikesampingkan?

Lalu benarkah ini budaya madura? bahkan lebih parah lagi "aremoh" itu dianggap wajar walaupun tanpa ada alasan untuk merayakannya, dan hanya bertujuan untuk meminta kembali "ungkapan-ungkapan turut berbahagia plus kadarnya" yang pernah kita berikan kepada orang lain ("aremoh" biasa dilakukan oleh orang Madura untuk meminta kembali apa yang pernah diberikan kepada orang lain saat ada perhelatan serupa, biasanya pesta perkawinan dan khitanan). Dan ini memang disebut budaya oleh kita sebagai orang Madura.

Saya bukan ahli sejarah yang pernah meneliti asal-muasal budaya "aremoh", tapi saya yakin ini bukan budaya masyarakat madura. Saya menganggap itu hanyalah kebiasaan-kebiasaan oleh sekelompok masyarakat, dan untuk melegalisasinya disematkan dalam bingkai "budaya". Madura terkenal akan fanatisme terhadap agama, masyarakat begitu memegang kuat keyakinan yang telah diajarkan oleh agama, adalah tidak mungkin jika lahir budaya-budaya yang bertentangan dengan keyakinan mereka (paling tidak itulah bentuk pembelaan saya terhadap orang Madura).

Budaya itu seharusnya juga "berbudaya", artinya tidak boleh bertentangan dengan norma-norma umum maupun norma-norma agama.

Note : Tulisan ini tidak lebih dari sekedar opini penulis.

p1

Khotbah Jumat di Universitas Mimpi


Setuju atau tidak mesjid di Universitas Mimpi yang ada di kampus 'mewah' ini telah membuat cerita-cerita yang lucu, nyleneh atau bisa juga disebut 'memalukan'. Dan menurut pendapat orang sudah seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi pengurus takmir.

Pernah ada seorang khotib yang sedang berkobar-kobar memberikan kotbah, saya sendiri jadi bingung membedakan ini khotbah apa ceramah agama di acara hari besar islam yang biasa diadakan di mesjid-mesjid kampung di Madura. Jamaah yang sebagian besar adalah mahasiswa sepertinya juga ikut terusik, materi kotbah yang sudah lari 'ngalor-ngidul' membuat sebagian jamah sudah mulai mengimbanginya dengan suara riuh rendah, bahkan terdengan cletukan 'abiiitttt' (artinya 'lamaaa' dalam bahasa Madura). Walaupun celetukan itu hal 'gila' yang seharusnya tidak dilakukan oleh jamaah shalat Jumat, tapi hal yang lebih 'gila' justru datang dari sang khotib, sang khotib berteriak marah dan mengatakan 'siapa itu ?'

Masih cerita tentang khotib yang sama, rupanya takmir mesjid belum kapok mengundang sang khotib. Di kesempatan Jumat yang lain (menyambut bulan Haji) kembali sang khotib dengan gaya berkobar-kobar menguasai panggung mimbar Jumat, tapi kali ini ke'aneh'an murni timbul dari hati yang sangat dalam sang khotib. Pada kotbah kedua sebelum doa, tiba-tiba sang khotib meminta waktu sedikit, "pada kesempatan ini kami mohon doa restu kepada para jamaah Jumat yang mulia ini, karena insyaallah saya akan menunaikan rukun islam yang terakhir yaitu ibadah haji, semoga dengan doa para jamaah saya bisa kembali ke tanah air sebagai haji mabrur" (kira-kira begitulah isi 'pamitan' yang mulia sang khotib). Tapi anehnya jamaah Jumat tidak berkomentar apapun (sudah insyaf apakah sudah ditegor oleh takmir trkait kejadian di hari Jumat yang lalu ?).

Cerita terakhir berasal dari bapak dosen muda yang pada hari Jumat itu sedang diberi amanah untuk menjadi khotib di mesjid tercinta ini. Mungkin karena masih muda, sang khotib secara tidak sengaja 'menjelek-jelekkan' seorang tokoh Islam yang menjadi panutan sebagian besar warga Aswaja. Meskipun yang dijelek-jelekkan hanyalah pandangannya tentang politik di Timur Tengah, tentu hal ini menjadi hal buruk jika diungkapkan pada saat khotbah Jumat, yang seharusnya hanya berisi tentang syukur atas nikmat Allah, ajakan untuk meningkatkan taqwa kepada Allah, ayat-ayat Alquran, Sahalawat kepada Nabi Muhammad SAW dan doa bagi kaum muslimin. Bahkan di sebagian mesjid -mesjid kampung, demi kehati-hatiannya menjaga kemurnian khotbah Jumat hanya diisi dengan khotbah dengan bahasa arab yang sudah tertulis tanpa keterangan-keterangan tambahan dalam bahasa lain, yang penting telah berisi rukun-rukun khotbah Jumat.

Tidak terbayangkan, hal tersebut pernah terjadi dan terjadi di sebuah kampus, yang seharusnya menjadi panutan dalam hal keilmuan, termasuk dalam hal syariat beribadah. Memang benar-benar "Universitas Mimpi".

p1

Takabbur, Penyakit Hati Yang Kronis


Seringkali kita juga lebih mudah untuk mendapatkan pelajaran dari cerita-cerita sederhana ketimbang uraian-uraian panjang yang ilmiah. Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al-Busthami, yang insya Allah, dapat kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi, Bayazid juga adalah pengajar tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang santri yang juga memiliki murid yang banyak. Santri itu juga menjadi kyai bagi jamaahnya sendiri. Karena telah memiliki murid, santri ini selalu memakai pakaian yang menunjukkan kesalihannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian tertentu.

Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, "Tuan Guru, saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan puasa setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan."

Bayazid menjawab, "Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu."

Murid itu heran, "Mengapa, ya Tuan Guru?"

"Karena kau tertutup oleh dirimu," jawab Bayazid.

"Bisakah kau obati aku agar hijab itu tersingkap?" pinta sang murid.

"Bisa," ucap Bayazid, "tapi kau takkan melakukannya."

"Tentu saja akan aku lakukan," sanggah murid itu.

"Baiklah kalau begitu," kata Bayazid, "sekarang tanggalkan pakaianmu. Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping. Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka, "Hai anak-anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu kantung kacang." Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, "Siapa yang mau menampar mukaku, aku beri satu kantung kacang!"

"Subhanallah, masya Allah, lailahailallah," kata murid itu terkejut.

Bayazid berkata, "Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir."

Murid itu keheranan, "Mengapa bisa begitu?"

Bayazid menjawab, "Karena kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan mahasuci, seakan-akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu."

"Kalau begitu," murid itu kembali meminta, "berilah saya nasihat lain."

Bayazid menjawab, "Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu melakukannya!"

Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Bayazid mengajarkan bahwa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan takabur. "Hati-hatilah kalian dengan ujub," pesan Iblis. Dahulu, Iblis beribadat ribuan tahun kepada Allah. Tetapi karena takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya.

Takabur dapat terjadi karena amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita bisa mencapai hadirat Allah swt.

Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub. Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak. Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi saw, "Ya Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang teguh?" Nabi menjawab, :"Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian ber- istiqamah-lah kamu."

Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia menganggap ibadat sebagai investasi.

Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah masyarakat. Orang itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang memadai statusnya. Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam setiap majelis dan diberi tempat duduk yang paling utama.

Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnad-nya; Suatu hari, di depan Rasulullah saw Abu Bakar menceritakan seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya menakjubkan semua orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa. Para sahabat keheranan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh sahabat yang lain agar mengikuti sahabat ahli ibadat itu. Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat itu tanpa mengucapkan salam. Abu Bakar berkata kepada Nabi, "Itulah orang yang tadi kita bicarakan, ya Rasulallah." Nabi hanya berkata, "Aku lihat ada bekas sentuhan setan di wajahnya."

Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, "Bukankah kalau kamu datang di satu majelis kamu merasa bahwa kamulah orang yang paling salih di majelis itu?" Sahabat yang ditanya menjawab, "Allahumma, na'am. Ya Allah, memang begitulah aku." Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi.

Setelah itu Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, "Siapa di antara kalian yang mau membunuh orang itu?" "Aku," jawab Abu Bakar. Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia kembali lagi, "Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang ruku'." Nabi tetap bertanya, "Siapa yang mau membunuh orang itu?" Umar bin Khaththab menjawab, "Aku." Tapi seperti jugaAbu Bakar, ia kembali tanpa membunuh orang itu, "Bagaimana mungkin aku bunuh orang yang sedang bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?" Nabi masih bertanya, "Siapa yang akan membunuh orang itu?" Imam Ali bangkit, "Aku." Ia lalu keluar dengan membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak berlumuran darah, "Ia telah pergi, ya Rasulullah." Nabi kemudian bersabda, "Sekiranya engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah sepeninggalku...."

Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah: Selama di tengah- tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling salih, paling berilmu, dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin. Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahwa perasaan ujub akan amal salih yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya hanya satu, belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Bayazid Al-Busthami kepada santrinya.


(Unknown Source)


p1

Apa Yang Harus Saya Tulis ???



Kadang hal itu masih sering mengganggu ketika keinginanku untuk menulis sedang berkobar, kala keyakinan bahwa aku bisa membuat tulisan lebih baik dari mereka yang sudah tampil keren sebagai penulis malah aku kebingungan mengeluarkan ide yang terkungkung. Lalu, benarkah aku ini punya kemampuan ini? menuangkan banyak hal dalam sebuah bentuk tulisan.

Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menulis, aku sudah mempunyai blog pengalamanku bekerja di bidang teknologi informasi, Learn to Share lebih menampilkan pengalaman dalam melakukan sesuatu dan itu tidak aku anggap sebagai menuangkan ide cemerlang. Learn to Share lebih bersifat tutorial, dan sangat mudah mendapatkan perhatian, traffiknya pun lumayan bagus. Tapi para pembaca itu hanya tertarik pada pengalamanku, bukan tertarik untuk mengenal tentang aku.

Itulang yang aku anggap sangat sulit, menuangkan ide-ide segar dan pandangan kita tentang diri, kehidupan dan sosial, walaupun aku begitu banyak mempunyai waktu untuk melaluinya. Tapi setidaknya SAAT INI AKU SEDANG BERUSAHA MELAKUKANNYA.


p1