Lebih dari dua bulan ini, setiap hari aku harus berangkat ke kantor dari kwanyar. Hal yang sangat membuat capek karena selain jarak yang harus ditempuh lebih jauh, kondisi jalan yang rusak, belum lagi faktor keamanan dari rute yang harus aku lewati tergolong rawan.

Begitu juga dengan pagi ini, walaupun aku memilih mengendarai mobil butut kebanggaannku, tapi tetap saja hal itu membuat aku menggerutu. Sebenarnya aku tidak terlalu suka jika harus bawa mobil karena jarak tempat parkir ke laboratorium tempat aku bekerja cukup jauh, belum lagi jarak ke kantor administrasi fakultas tempat aku absen lebih jauh lagi. Apalagi mengendarai mobil lebih ribet dibandingkan dengan naik motor.

Dan benar saja dugaanku, pagi ini harus melewati dua tempat yang terbiasa macet yaitu pasar Kwanyar (kebetulan hari ini bahu jalan sedang dipasang tenda untuk acara haul) dan pasar Labang (saat ini hari Rabu bertepatan dengan hari pasar besar Labang). Huuuffhhh, benar-benar membuat hati semakin dongkol, terbersit hayalan seandainya aku tinggal tidak terlalu jauh dari tempat kerja, seandainya mobil aku tidak butut, seandainya ... seandainya ... seandainya ... bahkan ada hayalan yang lebih gila seandainya orang tuaku kaya raya, seandainya mertuaku kaya raya, seandainya aku kaya raya dan tidak perlu bekerja lagi sehingga tiap hari kerjanya hanya tidur dan makan.

Aku sedikit tersentak ketika mobil saya sudah memasuki jalan pintas Labang - Telang, jalan yang tidak terlalu bagus memaksa aku harus menurunkan kecepatan mobil. Di depan ada mobil pickup yang penuh sesak dengan penumpang yang baru pulang dari pasar. Tua, muda bahkan anak-anak bercampur baur dengan sesaknya barang dagangan (yang belum laku), barang belanjaan untuk makan hari ini dan beberapa ekor ayam dan bebek.


Aku tertegun melihat seorang anak yang seumuran dengan anakku yang pertama (sekarang sudah kelas 2 SD), anak itu kok gak sekolah ya ? pikirku ... kasihan sekali, di umur yang begitu muda dia harus ikut membatu orang tua mencari nafkah bahkan harus mengubur kesempatannya untuk mendapatkan pendidikan yang layak seperti yang dijanjikan oleh UUD 1945. Tidak ingin terlalu lama termenung, saya fokus lagi dengan setir.

Di samping kanan dan kiri jalan terhampar sawah yang sudah mulai menghijau kembali setelah beberapa lama hujan mulai teratur membasahi daerah ini. Aku sempat melihat seorang kakek renta sedang jongkok sambil mengumpulkan rumput-rumput muda dengan arit ditangan, di sampingnya ada karung bekas beras sudah mulai terisi sebagian, mungkin si kakek sudah dari pagi tadi mengawali harinya dengan mengarit rumput. Kembali renungan memenuhi pikiranku, bagaimana jika kakek itu adalah bapakku? yang harus memulai rutinitas paginya dengan kerja keras hanya untuk memberikan harapan agar aku bisa makan tiap hari, atau agar aku bisa sekolah seperti anak-anak lain.

Huffhhh, helaan nafasku kali ini sedikit ringan, perasaan dongkol yang tadi sempat memenuhi pikiranku berangsur hilang berganti dengan perasaan yang aku sendiri tidak bisa menggambarkan. Aku baru sedikit sadar bahwa selama ini aku terlalu banyak mengeluh, terlalu banyak menuntut, terlalu banyak berhayal, terlalu banyak keinginan, sehingga membuatku lupa bahwa sebenarnya sudah begitu banyak pemberian Tuhan yang belum sempat aku sadari, apalagi menyukurinya.

Aku begitu malu untuk mengucapkan astghfirullah dan alhamdulillah, karena pikiran-pikiran kotor itu sudah sering dan sekian lama memenuhi hatiku yang rapuh.

8 Responses so far.

  1. hmmm, menarik.
    saya rasa semua orang akan mengalami seperti ini,
    tapi tinggal bagaimana kita menjalani dan memandangnya dari sudut mana.
    Pak Lutfi tetaplah Pak Lutfi yang punya pemikiran "keren".
    kalau saya merasa orang paling kaya di dunia, kenapa?
    tunggu postingannya di blog saya. :)

    *ditunggu komentar baliknya*

  2. SlameTux says:

    saya juga merasa demikian pak, terkadang kita tidak bersyukur dengan apa yang kita telah peroleh...

  3. loewyi says:

    Alhamdulillah.....
    Memang sudah selayaknya kita selalu bersyukur pak.
    Sedikit atao banyak rejeki yang kita dapat, kita harus tetap bersyukur pak.
    Penyakit manusia, ketika senang lebih mementingkan kata "Hore hore atau Yes" dari pada mengucap "Alhamdulillah", namun ketika sedang sedih dan jatuh lebih mementingkan amarah dan emosi dari pada mengucap "Astaughfirullah"

    Hidup itu tidak selamanya ada dibawah dan tidak selamanya pula ada diatas. Seperti apa hidup yang kita dapati harus tetap disyukuri. Percuma banyak uang (kaya) tapi hati tak tenang, percuma ingin kaya jika kita tidak mau berusaha dan berdoa serta hati kita tidak mau menerima segala sesuatunya. hehehe... :D

  4. mungkin ini merupakan hal biasa, sedikit terlupa atau tidak merasa bahwa anugerah Tuhan sudah sedemikian banyak, sehingga sampai tdk terbersit untuk menyukurinya. tapi paling tidak disela-sela kesibukan kita menuntut keinginan kita kepada Sang Pemberi, kita masih bisa merasa nikmat2 itu walapun cuma sekejap dan detik berikutnya hilang lagi dari pikiran.

    atau paling tidak saya bisa bersyukur diberi kesempatan merasa menjadi menjadi makhluq yang kurang bersyukur, sehingga terbersit untuk memperbaikinya.

  5. loewyi says:

    Setuju pak... :D
    bersyukur karena telah menyadari. :D

  6. SlameTux says:

    syukuri apa adanya, hidup adalah anugerah
    tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik
    by: d'masiv hehehe

  7. @loewyi, alhamdulillah masih banyak yg sudah sadar akan nikmat Tuhan

  8. @SlameTux, walaupun hanya dengan nyanyian tapi itu juga sebuah bentuk syukur

Leave a Reply